Welcome Babe....

WELCOME BABE... Makasih ya, uda mau mampir..Selamat menikmati tulisan2 nya... :)

Jumat, 13 Januari 2012

Di atas Rel


DI ATAS REL
Hari ini cuaca agak mendung, bahkan tadi sempat hujan sebentar. Memang langit kurang cerah sore ini. Tapi, ah, semuanya biasa saja bagiku, karena memang sudah dua minggu ini matahari begitu pelit hanya membagikan sedikit sinarnya pada bumi. Dan seperti hari-hari biasanya, aku masih di sini. Di Stasiun kereta api ini.
Dua orang anak laki-laki berkepala gundul  saling berebut pedang-pedangan plastik berlampu. Ibu mereka sibuk merogoh-rogoh tas tangannya mengambil uang untuk sebuah pedang-pedangan lagi. Seorang bapak datang pada ibu tersebut sambil menjewer telinga kedua anak gundul itu. Si kakak menangis sambil mengucek-ngucek matanya dan si adik diam dengan wajah murung dan marah. Ternyata si kakak dipukul kepalanya oleh si adik dengan pedang-pedangan itu, sampai sedikit terluka. Jadi, wajar saja jika keduanya dijewer oleh ayah mereka. Ibu tersebut coba menenangan kedua anaknya tersebut. Keduanya sudah tampak bersalaman, tapi si kakak masih sedikit sesenggukan.
Ya, hampir tiap hari aku melihat pemandangan seperti itu. Anak-anak kecil saling berebutan mainan. Kalau bukan anak-anaknya para penumpang yang sedang menunggu kereta, pasti itu anak-anak yang selalu berada di tempat ini. Yang entah kemana orang tuanya.
Stasiun hari ini tampak lenggang. Tidak terlalu ramai. Hanya ada sedikit keributan yang diperbuat oleh dua anak gundul itu. Tapi, menurutku memang lebih baik seperti ini, karena kadang aku suka pusing melihat banyak orang berjubelan di sini. Apalagi kalau musim libur dan hari-hari besar perayaan keagamaan. Mudik lebaran lah, mudik natal lah, tahun baru lah, ah, semuanya jadi begitu penat. Walau mereka sibuk berlalu lalang, tapi aku tetap masih di sini.
Aku sudah mengenal stasiun ini dari lima belas tahun yang lalu. Ada banyak yang berubah dari tempat ini. Sekarang, stasiunnya jadi ada dua mengapit  rel-rel yang saling berdampingan. Kalau dulu, penumpang hanya bisa menunggu di satu sisi saja. Lagi pula stasiun kini lebih tinggi dari rel, jadi tidak perlu terlalu banyak tangga untuk menaiki kereta. Tempat ini jadi tidak terlalu kumuh, walau masih saja ada gembel-gembel yang berkeliaran. Satu hal yang tidak berubah dari tempat ini adalah, kursi-kursi besi untuk penumpang yang sedang menunggu kereta itu masih sama seperti lima belas tahun yang lalu.
Kursi-kursi besi bergaya eropa masih berjejer rapi di pinggir-pinggir stasiun. Cat-nya sudah diganti beberapa kali, tapi masih saja terlihat cat-cat kering yang rapuh berjatuhan bagai menelanjangi kursi-kursi antik tersebut. Karat sudah terlihat di sana- sini. Tapi, dari kejauhan besi-besi tua itu masih tampak gagah menawarkan diri mereka untuk disinggahi sejenak. Malah, seorang gembel tua begitu lelap setiap harinya di salah satu kursi panjang di ujung stasiun. Nuansa inilah yang masih aku rasakan sama dengan lima belas tahun yang lalu.
Mataku sungguh tak jemu memandang ke arah dua anak gundul tadi. Aku suka melihat tingkah mereka. Si adik kerap kali menjahili kakaknya. Dan kakaknya tidak pernah sedikitpun membalas, paling-paling ia menjerit kemudian mengadu pada ayah atau ibu mereka. Adik yang satu ini memang tampak lebih hiperaktif. Ia berlari-lari di sepanjang stasiun, ia bahkan menabrak orang-orang di sekitarnya. Jika orang yang ia tabrak melihat ke arahnya, kemudian ia akan mengerang dengan wajah yang ia buat sangar. Matanya dipelototkan, ia memperlihatkan gigi kecilnya yang tajam, seolah hendak mencabik dan mengunyah daging-daging mereka. Dasar anak bandel. Tapi entah kenapa aku begitu suka melihat anak itu.
Anak itu berusia sekitar lima tahun dan kakaknya paling hanya beda dua tahun dengannya. Wajah mereka mirip, tapi perangai mereka sangat berbeda. Si kakak lebih pendiam, sedangkan si adik sungguh membuat kepala ayah mereka pusing. Ayah mereka tidak tahan melihat ulah si adik, apalagi ia juga menendang pot stasiun hingga pecah ketika sedang berlari-lari. Si ayah menarik tangan anak tersebut dan memukul pantatnya. Aku juga bisa melihat si ibu mencubit kaki anak tersebut kemudian memarahi anak itu. Tapi, anehnya tidak sedikitpun ia menangis bahkan tidak tampak menyesali perbuatannya. Ah, dasar anak kecil.
Aku tersenyum. Mungkin aku dulu seperti itu juga, seorang anak kecil yang bandel. Tapi, namanya juga anak-anak. Aku merasa maklum dengan itu semua, juga terhadap tingkah anak itu. Malah aku jadi merasa tambah senang. Dan mataku tidak mau luput memandangnya. Ia masih ada di retinaku. Anak kecil gundul itu. Si adik yang bandel.
Sekejap anak tersebut tenang di pangkuan ayahnya. Namun, begitu ayah ibunya lengah saat mereka sedang ngobrol, anak itu diam-diam menghilang dan kembali asyik dengan dunianya. Ia berlari-lari tiada henti, memutari stasiun yang tidak terlalu besar ini. Dan mataku masih padanya. Anak itu tampak gembira sekali, ingin rasanya aku ikut bersamanya, bermain dan berlari-lari. kemudian aku membayangkan kami terjatuh bersama lalu tertawa terbahak-bahak. Aku benar-benar ingin bermain bersama anak itu.
Toh, usiaku tidak terpaut jauh dengannya. Aku baru sepuluh tahun.  Hanya saja aku seorang perempuan. Dan aku adalah seorang gadis kecil yang baik dan manis. Aku ingin sekali punya adik laki-laki, apalagi seperti adik kecil yang gundul itu. Pipi tembemnya membuat aku ingin mencubitnya keras-keras. Tapi, jangankan punya adik seperti dia, aku sendiri hanya sebatang kara.
Sudah lama sekali tidak ada satupun orang yang menyapaku, bahkan melihatku. Aku hanya ditemani boneka usang yang selalu kubawa kemana-mana, dan seekor anjing tua yang setia. Aku sendiri tidak tahu kemana ayah dan ibuku. Sudah lima belas tahun aku di sini sendiri. Di atas rel ini. Mondar-mandir mencari seseorang yang aku kenal, tapi tidak satupun peduli padaku. Seperti lima belas tahun yang lalu, aku masih di atas rel ini.
Matahari mulai tenggelam, langit menjadi sedikit hitam, sebentar lagi akan terdengar suara azan. Dan burung-burung pulang beriringan ke sarang mereka. Dan mataku tidak mau lepas dari anak itu. Sampai satu ketika ia melihat ke arahku.
Senyumku mengembang padanya. Ia balas dengan senyum manisnya. Kupanggil-panggil dirinya dan tanganku melambai-lambai padanya. Awalnya ia berjalan perlahan, memicingkan matanya mencoba untuk melihatku dengan jelas dan kemudian berlari ke arahku. Dan. Brak! Ada yang menghempas tubuh kami berdua. Sekejap kepalaku pusing, tapi aku bisa melihat senyumnya masih mengembang ke arahku. Kami berdua di atas rel ini entah untuk waktu berapa lama lagi.

2 komentar:

ASIETECH mengatakan...

lieur bacanya bos, ane g suka baca artikel/cerita2 kaya gini,, but trs lah berkarya,berimagine daripada ngegosip yg tak karuan xixixi....

Unknown mengatakan...

yang digosipin juga ga jelas... haha