DI ATAS
REL
Hari ini cuaca agak mendung, bahkan tadi sempat hujan
sebentar. Memang langit kurang cerah sore ini. Tapi, ah, semuanya biasa saja
bagiku, karena memang sudah dua minggu ini matahari begitu pelit hanya membagikan
sedikit sinarnya pada bumi. Dan
seperti hari-hari biasanya, aku masih di sini. Di Stasiun
kereta api ini.
Dua orang anak laki-laki berkepala gundul saling berebut pedang-pedangan plastik
berlampu. Ibu mereka sibuk merogoh-rogoh tas tangannya mengambil uang untuk
sebuah pedang-pedangan lagi. Seorang bapak datang pada ibu tersebut sambil
menjewer telinga kedua anak gundul itu. Si kakak menangis sambil
mengucek-ngucek matanya dan si adik diam dengan wajah murung dan marah.
Ternyata si kakak dipukul kepalanya oleh si adik dengan pedang-pedangan itu,
sampai sedikit terluka. Jadi, wajar saja jika keduanya dijewer oleh ayah
mereka. Ibu tersebut coba menenangan kedua anaknya tersebut. Keduanya sudah
tampak bersalaman, tapi si kakak masih sedikit sesenggukan.
Ya, hampir tiap hari aku melihat pemandangan seperti
itu. Anak-anak kecil saling berebutan mainan. Kalau bukan anak-anaknya para
penumpang yang sedang menunggu kereta, pasti itu anak-anak yang selalu berada
di tempat ini. Yang entah kemana orang tuanya.
Stasiun hari ini tampak lenggang. Tidak terlalu ramai.
Hanya ada sedikit keributan yang diperbuat oleh dua anak gundul itu. Tapi,
menurutku memang lebih baik seperti ini, karena kadang aku suka pusing melihat
banyak orang berjubelan di sini. Apalagi kalau musim libur dan hari-hari besar
perayaan keagamaan. Mudik lebaran lah, mudik natal lah, tahun baru lah, ah,
semuanya jadi begitu penat. Walau mereka sibuk berlalu lalang, tapi aku tetap
masih di sini.
Aku sudah mengenal stasiun ini dari lima belas tahun yang lalu. Ada banyak yang berubah dari tempat ini.
Sekarang, stasiunnya jadi ada dua mengapit
rel-rel yang saling berdampingan. Kalau dulu, penumpang hanya bisa
menunggu di satu sisi saja. Lagi pula stasiun kini lebih tinggi dari rel, jadi
tidak perlu terlalu banyak tangga untuk menaiki kereta. Tempat ini jadi tidak
terlalu kumuh, walau masih saja ada gembel-gembel yang berkeliaran. Satu hal
yang tidak berubah dari tempat ini adalah, kursi-kursi besi untuk penumpang
yang sedang menunggu kereta itu masih sama seperti lima belas tahun yang lalu.
Kursi-kursi besi bergaya eropa masih berjejer rapi di
pinggir-pinggir stasiun. Cat-nya sudah diganti beberapa kali, tapi masih saja
terlihat cat-cat kering yang rapuh berjatuhan bagai menelanjangi kursi-kursi
antik tersebut. Karat sudah terlihat di sana-
sini. Tapi, dari kejauhan besi-besi tua itu masih tampak gagah menawarkan diri
mereka untuk disinggahi sejenak. Malah, seorang gembel tua begitu lelap setiap
harinya di salah satu kursi panjang di ujung stasiun. Nuansa inilah yang masih
aku rasakan sama dengan lima
belas tahun yang lalu.
Mataku sungguh tak jemu memandang ke arah dua anak
gundul tadi. Aku suka melihat tingkah mereka. Si adik kerap kali menjahili
kakaknya. Dan kakaknya tidak pernah
sedikitpun membalas, paling-paling ia menjerit kemudian mengadu pada ayah atau
ibu mereka. Adik yang satu ini memang tampak lebih hiperaktif. Ia berlari-lari
di sepanjang stasiun, ia bahkan menabrak orang-orang di sekitarnya. Jika orang
yang ia tabrak melihat ke arahnya, kemudian ia akan mengerang dengan wajah yang
ia buat sangar. Matanya dipelototkan, ia memperlihatkan gigi kecilnya yang
tajam, seolah hendak mencabik dan mengunyah daging-daging mereka. Dasar anak
bandel. Tapi entah kenapa aku begitu suka melihat anak itu.
Anak itu berusia sekitar lima tahun dan kakaknya paling hanya beda dua tahun dengannya. Wajah mereka mirip, tapi perangai
mereka sangat berbeda. Si kakak lebih pendiam, sedangkan si adik sungguh
membuat kepala ayah mereka pusing. Ayah mereka tidak tahan melihat ulah si adik,
apalagi ia juga menendang pot stasiun hingga pecah ketika sedang berlari-lari.
Si ayah menarik tangan anak tersebut dan memukul pantatnya. Aku juga bisa
melihat si ibu mencubit kaki anak tersebut kemudian memarahi anak itu. Tapi,
anehnya tidak sedikitpun ia menangis bahkan tidak tampak menyesali
perbuatannya. Ah, dasar anak kecil.
Aku tersenyum. Mungkin aku dulu seperti itu juga,
seorang anak kecil yang bandel. Tapi, namanya juga anak-anak. Aku merasa maklum
dengan itu semua, juga terhadap tingkah anak itu. Malah aku jadi merasa tambah
senang. Dan mataku tidak mau luput
memandangnya. Ia masih ada di retinaku. Anak kecil gundul itu. Si adik yang
bandel.
Sekejap anak tersebut tenang di pangkuan ayahnya. Namun,
begitu ayah ibunya lengah saat mereka sedang ngobrol, anak itu diam-diam menghilang
dan kembali asyik dengan dunianya. Ia berlari-lari tiada henti, memutari
stasiun yang tidak terlalu besar ini. Dan
mataku masih padanya. Anak itu tampak gembira sekali, ingin rasanya aku ikut
bersamanya, bermain dan berlari-lari. kemudian aku membayangkan kami terjatuh
bersama lalu tertawa terbahak-bahak. Aku benar-benar ingin bermain bersama anak
itu.
Toh, usiaku tidak terpaut jauh dengannya. Aku baru
sepuluh tahun. Hanya saja aku seorang
perempuan. Dan aku adalah seorang
gadis kecil yang baik dan manis. Aku ingin sekali
punya adik laki-laki, apalagi seperti adik kecil yang gundul itu. Pipi
tembemnya membuat aku ingin mencubitnya keras-keras. Tapi, jangankan punya adik
seperti dia, aku sendiri hanya sebatang kara.
Sudah lama sekali tidak ada satupun orang yang
menyapaku, bahkan melihatku. Aku hanya ditemani boneka usang yang selalu kubawa
kemana-mana, dan seekor anjing tua yang setia. Aku sendiri tidak tahu kemana
ayah dan ibuku. Sudah lima
belas tahun aku di sini sendiri. Di
atas rel ini. Mondar-mandir mencari seseorang yang aku kenal, tapi tidak
satupun peduli padaku. Seperti lima
belas tahun yang lalu, aku masih di atas rel ini.
Matahari mulai tenggelam, langit menjadi sedikit hitam,
sebentar lagi akan terdengar suara azan. Dan
burung-burung pulang beriringan ke sarang mereka. Dan
mataku tidak mau lepas dari anak itu. Sampai satu ketika ia melihat ke arahku.
Senyumku mengembang padanya. Ia balas dengan senyum
manisnya. Kupanggil-panggil dirinya dan tanganku melambai-lambai padanya.
Awalnya ia berjalan perlahan, memicingkan matanya mencoba untuk melihatku
dengan jelas dan kemudian berlari ke arahku. Dan.
Brak! Ada yang
menghempas tubuh kami berdua. Sekejap kepalaku pusing, tapi aku bisa melihat
senyumnya masih mengembang ke arahku. Kami berdua di atas rel ini entah untuk
waktu berapa lama lagi.
2 komentar:
lieur bacanya bos, ane g suka baca artikel/cerita2 kaya gini,, but trs lah berkarya,berimagine daripada ngegosip yg tak karuan xixixi....
yang digosipin juga ga jelas... haha
Posting Komentar