Welcome Babe....

WELCOME BABE... Makasih ya, uda mau mampir..Selamat menikmati tulisan2 nya... :)

Rabu, 25 Januari 2012

7 HARI ANTARA AKU DAN JUNKIE


7 HARI ANTARA AKU DAN JUNKIE

Aku, seorang remaja perempuan yang cuek, ramah dan amat senang menggoda cowok-cowok. Terutama cowok-cowok aneh. Ciri-ciri fisikku, rambut lurus, dagu lancip, berkaca mata, badan kurus, serta kulit hitam yang terdapat tattoo-tattoo peninggalan perang antara aku dan cacar waktu kelas dua SMP. Walau menakutkan kedengarannya, tapi bersyukur masih ada yang bilang “Desy itu manis”.
Tadi itu perkataan yang biasa dilontarkan Siska sahabatku. Biasanya terdengar ketika aku sedang sedih atau merasa tidak pede dengan penampilanku.
Siska adalah sahabatku sejak SMP, kami berkenalan saat kelas dua, sebelumnya kami pernah saling tidak menyukai. Aku tidak menyukainya karena ia berkumpul dengan anak-anak nakal yang biasa dipanggil ‘trouble maker girls’ di sekolah. Sedangkan ia tidak menyukaiku lantaran wajahku yang jutek minta ampun (sudah dari lahir-kodrat alam).
Kami benar-benar bersahabat saat di kelas tiga, itupun melalui kedekatan yang tidak disengaja. Saat kelas tiga kami satu kelas lagi, wali kelas memasangkan kami duduk sebangku. Walau awalnya tidak mau, tapi lama-kelaman kami saling mengenal dan hingga saat ini kami bersahabat.
Sekarang aku dan Siska duduk di kelas dua SMU, sekolah kami berbeda rumah kamipun berjauhan. Walaupun begitu kami sering saling mengunjungi.
“Woi, mau liburan kemana lo?” tanya Siska saat ia menelepon.
“Di rumah aja! Ga ada budget” jawabku dengan nada malas.
“Gimana kalo ke tempat kakak gue?”tanya Siska penuh semangat.
“Ngapain? Malah ngerepotin aja”
“Ngerepotin gimana? Dia sih kesenengan kalo kita kesana ada kita yang bisa masak. Cocok bangetkan? Sekalian hobby, sekalian juga ngeceng-ngeceng temennya. Lumayan...jatah liburan. Mumpung jomblo. Coba deh!”
Akhirnya aku putuskan untuk berlibur bersama Siska, tapi cukup tiga hari dari waktu libur seminggu yang aku punya. Jadi, masuk sekolah nanti aku bisa berbagi cerita seperti yang sahabat-sahabat sekolahku rencanakan. Pasti ceritaku paling seru, apalagi aku berniat ngeceng temen kakak Siska.
Waduh, payah. Teman-teman kakak Siska bukan seperti yang diharapkan. Kalaupun ada yang pas, pasti sudah punya gandengan. Sisanya....sangat tidak diharapkan. Apalagi cowok yang bernama Hendra teman sekampus kakak Siska. Dia seorang junkie alias user alias pemakai narkoba. Dia suka padaku dan caranya mengekspresikan cinta itu aneh. Baru menit pertama kenal sudah memberi perhatian super, ditambah lagi bunga yang Hendra berikan didapat dari memetik di halaman tetangga.
Sebenarnya, kalau Hendra sampai suka padaku itu ya, salahku juga. Lantaran aku goda saat kita kenalan. Aku puji-puji dia. Ternyata dia melayang dan tidak mau turun lagi. Akupun ingin dibawanya melayang. Tapi.....ogah! bagaimana mungkin seorang Desy yang sangat terkenal rajin, pintar dan disayang para guru bisa punya pacar seorang junkie. Tidak ada dalam kamusnya. Walaupun sebenarnya aku suka cowok-cowok aneh. Tapi, yang satu ini kelewat aneh.
“Kemarin, pertama gue lihat lo, gue tahu kalo lo adalah cinta gue. Gue percaya sama love at first sight.” Gila nih cowok. Penggoda ulung.
“Ini hari kedua lo di sini, gue denger tiga hari aja ya? Please...gue mohon untuk lebih lama lagi” ia menatapku penuh harapan.
Ruang tamu ini pasti jadi saksi kebingunganku. Aku tidak menjawab.
Setelah itu kami banyak bercerita tentang dirinya. Ternyata Hendra dari keluarga broken home. Ayah ibunya pergi entah kemana setelah terjadi pertengkaran hebat antara keduanya dua tahun yang lalu, walaupun sesekali mereka menelepon namun, tetap saja tidak pernah bertemu muka. Tidak lama setelah itu kakaknya ditemukan tewas dalam keadaan yang mengenaskan di sebuah gudang tua bekas pabrik kerupuk, disinyalir dibunuh. Namun, sampai saat ini kasusnya belum tuntas.
“Gue udah ga punya siapa-siapa lagi. Gue hidup sendirian. Bergantung sama harta peninggalan orang tua ga cukup bikin gue bahagia. Gue butuh lebih dari sekedar uang. Gue butuh kasih sayang. Gue pikir gue bakal mendapatkannya dari lo.”
Gila, ini cowok jujur banget. Aku jadi merasa iba padanya. Tanpa kusadari air mataku mengalir begitu saja mendengar cerita Hendra. Sangat memilukan sekali hidupnya. Pantas saja ia seperti itu. Tapi, kenapa harus lari ke narkoba? Kenapa tidak ke Tuhan saja? Ah, pertanyaan terlambat. Semua sudah terjadi. Saatnya untuk memulai kehidupan barunya. Aku pikir aku akan membantunya.
Tidak terasa, aku sudah menghabiskan waktu dua hari ini dengan Hendra. Mendengar segala dukanya. Sementara Siska masih sibuk pendekatan dengan anak tetangga sekaligus yang punya kontrakan yang kami tempati ini.
Aku merasa begitu dekat dengan Hendra, aku putuskan akan tinggal seminggu di sini. Aku memang tidak bisa menjadi pacar Hendra, tapi aku bisa menjadi sahabatnya. Aku akan berusaha mengembalikan kebahagiaan dan senyumannya yang hilang.
Tanpa terasa lima hari berlalu, aku dan Hendra makin akrab saja. Terkadang terbesit perasan aneh. Entah apa namanya. Kasihan? Cinta? Atau iba semata?
Sesekali ingin aku menjadi kekasihnya, namun bagaimana kata teman-teman, guru dan keluargaku kalau mereka tahu? Pacar Desy seorang pemakai narkoba. Ah, tidak. Tidak mungkin. Aku tidak akan pernah menjadi kekasihnya walau aku akui aku mulai jatuh cinta padanya.
Sabtu ini hari ketujuh aku menjadi sahabat ‘cinta’ nya. Tidak seperti biasa, ia tampak lebih bersih. Tanpa anting, gelang, kalung dan atribut punk yang setiap hari dipakainya. Jujur saja ia sangat tampan dan memikat.
“Desy suka Hendra seperti ini? Boleh Hendra bersama Desy? Jadi kekasih Hendra untuk selamanya, Hendra janji akan berubah. Hendra akan ambil mimpi-mimpi Hendra yang dulu bersama Desy. Hendra janji akan membahagiakan Desy.”
Ya, ampun. Apa yang terjadi? Dia berubah romantis tanpa kata-kata ‘lo atau gue’, namun semua pertanyaan dan pernyataannya hanya aku respon dengan senyum.
Lama kami terdiam. “Hendra, desy sayang kamu, tapi ga lebih,” “bohong! Hendra tau Desy juga sayang sama Hendra.” Ia begitu berapi-api. “Kenapa, Des? Takut kalau reputasi Desy rusak?” Sungguh menyayat hati dan aku hanya bisa terdiam karena itu benar. Matanya memerah. Akupun mulai menjatuhkan kristal bening di pipiku, bergulir jatuh perlahan ke arah dagu. Kita hening hampir seperempat jam. Lalu ia pamit ke toilet.
Ia kembali dari toilet dengan mata yang lebih merah dari sebelumnya, bibirnya pucat, rambut dan seluruh wajahnya basah seperti kehujanan. Hendra kembali duduk di sampingku. “Hendra, Desy mau jadi pacar kamu!” aku memulai dengan penuh senyum. Ia tersenyum, aku tahu ia bahagia.
Ia sandarkan kepalanya di pundakku, ia genggam erat tanganku. Ada tetes air yang kurasa membasahi pundakku. Aku tahu ia menangis, mungkin terlalu bahagia.
Ia berbisik, “Hendra sayang Desy sampai mati.” Aku terhenyak mendengar ujung kalimatnya, kutempelkan telunjukku ke bibirnya tanda tidak setuju. Baru saja ujung jemariku menempel di bibirnya, ia terjatuh. Terjatuh di pangkuanku dengan hidung dan mulut yang berair. Aku bangunkan ia terus sambil menangis. Ia tidur.
Entah, kisah apa yang harus aku ceritakan Senin nanti pada sahabat-sahabatku di sekolah. Haruskah aku menceritakan tentang “Hendra sayang Desy sampai mati”.
Tujuh hari bersamanya sangat indah. Hendra, kenapa semuanya terlambat? Mungkinkah kehidupan memang seperti ini? “Kita akan tahu sesuatu itu sangat berharga ketika kita telah kehilangan sesuatu yang tidak pernah kita syukuri itu.” Hendra, terima kasih untuk tujuh hari yang mengesankan ini.


Bandung, saat langit gelap   

Tidak ada komentar: